Dr. Iswadi, M.Pd. Dosen Universitas Esa Unggul.
Jakarta – Di musim Ramadan, sebuah perjalanan spiritual dimulai bagi umat Muslim di seluruh dunia. Ini bukan hanya tentang menahan lapar dan haus dari fajar hingga senja, tetapi juga tentang menyempurnakan ibadah, merenungkan makna hidup, dan mengasah kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam bulan suci ini, orang-orang mencari kedekatan dengan Tuhan mereka, mencari kebaikan dalam diri mereka sendiri, dan menemukan kedamaian dalam hati mereka.
Kecerdasan intelektual dapat ditingkatkan melalui pembacaan Al-Quran dan hadis, serta dengan mendalami ilmu pengetahuan dan penelitian. Di bulan Ramadan, umat Muslim sering mengatur jadwal khusus untuk membaca dan mempelajari Al-Quran secara lebih mendalam. Mereka merenungkan ayat-ayat suci dan mencari pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran Islam. Selain itu, banyak yang menggunakan waktu mereka untuk memperdalam pengetahuan tentang topik agama dan spiritualitas melalui diskusi kelompok, kelas, atau bimbingan.
Tidak hanya itu, kecerdasan emosional juga penting untuk dikembangkan selama Ramadan. Ini adalah waktu untuk merenungkan perbuatan kita, mengevaluasi hubungan dengan orang lain, dan memperbaiki perilaku kita. Umat Muslim dihimbau untuk meningkatkan kesabaran, pengendalian diri, dan empati terhadap sesama. Melalui refleksi diri dan introspeksi yang dalam, mereka belajar mengenali dan mengelola emosi mereka dengan lebih baik. Mereka juga berupaya untuk memaafkan dan berdamai dengan orang-orang di sekitar mereka, memperkuat hubungan sosial dan menciptakan atmosfer harmonis di antara komunitas mereka.
Bagian yang paling penting dari Ramadan adalah pengembangan kecerdasan spiritual. Ini melibatkan pencarian makna yang lebih dalam dalam hidup, memperkuat iman, dan meningkatkan ketakwaan. Selama bulan Ramadan, umat Muslim berusaha untuk meningkatkan ibadah mereka, termasuk shalat, puasa, dan bersedekah. Mereka meluangkan waktu untuk berdoa dan meditasi, mencari petunjuk dari Tuhan dan memperdalam hubungan spiritual mereka dengan-Nya. Pada saat yang sama, mereka juga berusaha untuk memperbaiki karakter mereka sesuai dengan ajaran agama mereka, menghilangkan sifat-sifat negatif seperti keserakahan, kedengkian, dan kebencian, serta menggantinya dengan kebajikan seperti kejujuran, kedermawanan, dan kerendahan hati.
Ketika seseorang memadukan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam perjalanan Ramadan mereka, mereka mencapai keselarasan yang memenuhi seluruh aspek kehidupan mereka. Mereka tidak hanya menjadi lebih bijaksana dalam pikiran dan tindakan mereka, tetapi juga lebih mampu menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang tenang dan penuh ketabahan. Mereka merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Tuhan mereka dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Sebuah contoh nyata dari pengembangan kecerdasan ini dapat dilihat dalam kisah seorang pria bernama Ali, yang memulai Ramadan dengan niat untuk mengasah kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Setiap pagi, Ali memulai hari dengan membaca Al-Quran dan merenungkan ayat-ayat suci tersebut. Dia juga menghadiri kelas-kelas agama di masjid setempat, di mana dia belajar tentang prinsip-prinsip Islam dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selama siang hari, Ali berusaha untuk mengendalikan emosinya, terutama ketika dia merasa lapar dan haus karena berpuasa. Dia menggunakan waktu-waktu tersebut untuk merenungkan kesabaran dan ketahanan, dan menguatkan tekadnya untuk tetap tenang dan penuh kasih sayang terhadap orang lain. Ali juga menghabiskan waktu dengan memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan, membantu orang-orang di sekitarnya yang kurang beruntung darinya.
Di malam hari, Ali berdoa dan bermeditasi, mencari kekuatan dan petunjuk dari Tuhan. Dia mengakui kesalahannya dan meminta ampun, serta berterima kasih atas segala berkah yang diberikan kepadanya. Dengan hati yang bersyukur dan pikiran yang tenang, Ali merasa lebih dekat dengan Tuhan daripada sebelumnya.
Ketika Ramadan berakhir, Ali merasa telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dalam kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Dia merasa lebih paham tentang ajaran Islam, lebih mampu mengelola emosinya, dan lebih dekat dengan Tuhan. Pengalaman Ramadan telah memberinya fondasi yang kokoh untuk terus berkembang dan meningkatkan dirinya sebagai seorang Muslim yang baik.
Dalam kesimpulan, bulan Ramadan adalah waktu yang sangat berharga bagi umat Muslim untuk mengasah kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual mereka. Melalui pembacaan Al-Quran, refleksi diri, dan ibadah yang mendalam, mereka memperkuat iman mereka, memperbaiki karakter mereka, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan menggabungkan semua aspek kecerdasan ini, mereka dapat mencapai keselarasan yang memenuhi seluruh kehidupan mereka, dan menjadi individu yang lebih bijaksana, penuh kasih, dan penuh ketakwaan.Ramadhan juga merupakan lorong panjang menuju kebermaknaan hidup. Mereka yang mampu melihat Ramadhan sebagai bulan penuh hikmah yang mengantarkan manusia dari gelap menuju terang (minadzulumati ila an-nuur), akan mendapatkan pelita di hatinya.
Kita semua mengetahui, bahwa Ramadhan itu bulan penuh ujian. Umat muslim diperintahkan untuk berlapar, merasakan dahaga, beribadah siang malam, memperbanyak amalan-amalan, serta membayar zakat dan meningkatkan sedekah, merupakan cara Allah meningkatkan derajat hambanya.
Bagi penulis, Ramadhan merupakan momentum mengasah kecerdasan. Kita dilatih untuk menyelami diri sendiri, mengais makna mendasar dari diri kita sebagai manusia, sebagai hamba. Kita dilatih untuk jujur pada diri sendiri, menjernihkan hati, mengistirahatkan nafsu.
Selain itu, Ramadhan sebagai bulan penuh rahmat yang bisa dimaknai untuk mengasah kecerdasan kita semua. Ada tiga terminologi kecerdasan, yang terkait paut dengan tempaan manusia di bulan Ramadhan. Pertama, kecerdasan intelektual. Kedua, kecerdasan emosional, dan ketiga kecerdasan spiritual.
Pada bulan Ramadhan ini, kita mendapat situasi yang sangat tepat di mana variasi tiga kecerdasan itu memungkinkan dilatih pada diri manusia. Dan, Allah melatih kita semua agar tiga kecerdasan itu terasah di bulan Ramadhan ini, bulan penuh ujian, bulan yang terlimpah segenap ampunan.
Untuk kecerdasan intelektual, kita bisa mengasahnya melalui banyak media di bulan Ramadhan ini. Kita bisa belajar dari pelbagai platform yang tersedia, dengan mengakses ruang-ruang pembelajaran. Bahkan, kalau di pesantren, santri-santri bisa mengaji sehari semalam untuk mengakses intelektualitas.
Sekarang di tengah kesibukan menanti penetapan hasil pemilu 2024 secara resmi oleh KPU RI , kita juga bisa mengakses ngaji-ngaji kitab para kiai pesantren di berbagai kawasan, dengan pilihan yang beragam. Ada ribuan Kiai dan Gus yang membuka akses pengajian kitab melalui media sosial. Itu menambah pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan intelektual kita.
Tentu saja di luar ilmu agama juga tersedia, dengan sumber yang melimpah. Ada komunitas-komunitas pendidik yang menyelenggarakan kelas-kelas khusus untuk belajar robotika, inovasi digital, artificial intelligence, industri keuangan, dan banyak bidang lain. Ramadhan penuh berkah, kita semua bisa meluangkan waktu untuk belajar, mengasah sisi intelektualitas kita.
Dari sisi emosional, Ramadhan melatih kita untuk mengasah empati dan kepekaan terhadap sesama. Rasa lapar dan dahaga, menjadi penghubung empati kita untuk merasakan saudara-saudara kita yang sedang kurang beruntung, atau mereka yang sedang terkena bencana kelaparan di berbagai negara. Ramadhan memberi ruang bagi kita untuk sejenak jeda, mengasah diri untuk berempati.
Sebuah hadist riwayat Imam Muslim, mengisahkan tentang pentingnya menahan amarah. “Ibn Mas’ud berkata: Nabi bertanya, ‘Siapa yang kalian anggap sebagai orang perkasa? Kami menjawab, ‘Dia yang tak bisa dikalahkan keperkasaannya oleh siapapun’. Nabi menimpali, ‘bukan demikian, akan tetapi yang perkasa adalah yang bisa menahan dirinya ketika marah.” (HR. Muslim).
Hadist di atas menjelaskan betapa menahan emosi sangat penting, bahkan dianggap sebagai keperkasaan. Di sisi lain, ada juga ungkapan: ‘ alghadhabu miftahu kulli syarrin’, marah adalah kunci pembuka segala keburukan. Ibadah puasa mengajarkan kita untuk menahan diri, mengontrol amarah, sebagai kecerdasan emosional. Mereka yang dapat mengontrol amarahnya adalah orang-orang yang menang.
Di sisi lain, kita dianjurkan memperbanyak sedekah dan membayar zakat. Ini dimensi agama yang tersambung langsung dengan kemanusiaan. Bahwa, Islam mengajarkan kita untuk terus berbagi, mencari titik keseimbangan kehidupan. Bahwa, kekayaan itu tidak boleh dinikmati sendiri. Ada hak orang lain dalam setiap harta kita.
Islam mengajarkan kita untuk bekerja keras, menjadi pribadi yang kaya. Tidak ada larangan bagi umat muslim untuk menjadi kaya. Justru, dengan harta itu, kita bisa berbagi untuk sesama. Kita bisa memiliki kekuatan untuk mengentaskan orang lain dari kemiskinan, dengan dukungan moral, skill dan juga modal. Dengan kekayaan itu, kita bisa membantu peningkatan sumber daya manusia generasi muslim di negeri ini.
Nah, kewajiban untuk zakat dan dorongan untuk memperbanyak sedekah untuk membantu kita mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, di bulan Ramadhan ini, Islam menuntun kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dengan mengasah kecerdasan emosional, memperjuangkan kemaslahatan publik (mashlahah ‘ammah).
Ramadhan juga melatih kita untuk terus meningkatkan kecerdasan spiritual. Tiap hari kita tarawih, shalat malam, tadarus, dan berbagai amalan baik lainnya, yang istimewa selama bulan Ramadhan, mengajak kita untuk menjadi manusia dengan derajat tinggi. Manusia yang memiliki kecerdasan spiritual, sehingga mampu menjadi hamba Allah yang mendapatkan cahaya dan petunjuk menuju shiratal mustaqim.
Nah, selama Ramadhan ini, tiga kecerdasan itu terus menerus diasah dengan berbagai ibadah dan tempaan selama menjalani puasa. Dengan harapan, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosial, dan kecerdasan spiritual kita terus meningkat selama Ramadhan. Jadi, bahwa Ramadhan sebagai kawah candradimuka untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang lebih baik itu benar adanya.
Nah, Ramadhan ini menggembleng umat muslim, hamba Allah yang mendapat rahmat, agar menjadi orang yang bertakwa. Mendorong kita menjadi pribadi yang baik, sekaligus juga menjadi muhsin, mampu memberikan kebaikan. Tidak hanya sebagai manusia yang bergerak, namun juga menjadi penggerak dan mampu menggerakkan. Tentu saja, mampu menggerakkan komunitas muslim untuk menjadi lebih baik, lebih kreatif, bermanfaat dan peduli pada sesama.
Di sinilah hakekat Ramadhan untuk menggembleng kemanusiaan kita, hakekat sebagai hamba Allah. Ramadhan mengajak umat muslim, kita semua untuk menjadi manusia yang cerdas di lintas dimensi: intelektual, emosional dan sekaligus spiritual.Selain itu, Ramadhan sebagai bulan penuh rahmat yang bisa dimaknai untuk mengasah kecerdasan kita semua. Ada tiga terminologi kecerdasan, yang terkait paut dengan tempaan manusia di bulan Ramadhan. Pertama, kecerdasan intelektual. Kedua, kecerdasan emosional, dan ketiga kecerdasan spiritual.
Pada bulan Ramadhan ini, kita mendapat situasi yang sangat tepat di mana variasi tiga kecerdasan itu memungkinkan dilatih pada diri manusia. Dan, Allah melatih kita semua agar tiga kecerdasan itu terasah di bulan Ramadhan ini, bulan penuh ujian, bulan yang terlimpah segenap ampunan.