Oleh Pujo Prayetno.
Satupena.co.id. Perkembangan teknologi digital membawa dampak besar terhadap industri media. Dengan semakin banyaknya platform berita, jumlah jurnalis di berbagai daerah pun meningkat. Namun, peningkatan ini tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan mereka.
Bagi perusahaan media yang telah berkembang, memberikan insentif atau gaji yang layak bagi jurnalis mungkin bukan masalah besar. Namun, bagi media yang masih merintis atau berskala kecil, memberikan kompensasi yang memadai sering kali menjadi tantangan. Akibatnya, banyak jurnalis yang tidak menerima gaji tetap atau mendapatkan bayaran yang sangat minim.
Di sisi lain, jurnalis juga manusia yang memiliki kebutuhan hidup. Mereka harus menafkahi keluarga, membayar tagihan, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika kesejahteraan tidak terjamin, sebagian dari mereka terpaksa mencari cara lain untuk bertahan, termasuk menerima imbalan dari narasumber. Praktik ini, yang sering disebut sebagai “amplop” atau “uang koordinasi,” menjadi dilema tersendiri dalam dunia jurnalistik.
Di satu sisi, kode etik jurnalistik menuntut jurnalis untuk bersikap independen, tidak memihak, dan bebas dari intervensi pihak lain. Namun, di sisi lain, realitas ekonomi memaksa mereka untuk mencari jalan keluar agar tetap bisa hidup. Tidak sedikit jurnalis yang menghadapi tekanan, baik dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitarnya.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas kondisi ini? Apakah semata-mata kesalahan jurnalis yang menerima imbalan, ataukah ini adalah akibat dari sistem yang belum sepenuhnya mendukung kesejahteraan mereka?
Perusahaan media, organisasi pers, dan pemerintah seharusnya lebih serius dalam memastikan bahwa jurnalis mendapatkan hak yang layak. Profesionalisme dalam dunia jurnalistik tidak bisa hanya dibangun melalui aturan dan kode etik semata, tetapi juga harus diiringi dengan jaminan kesejahteraan bagi para pelakunya.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka independensi dan kredibilitas jurnalistik akan semakin tergerus. Jurnalis yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran justru akan semakin rentan terhadap kepentingan pihak tertentu. Pada akhirnya, bukan hanya jurnalis yang dirugikan, tetapi juga masyarakat luas yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan berkualitas.
Solusinya? Media harus berbenah, organisasi jurnalis harus lebih proaktif memperjuangkan hak anggotanya, dan pemerintah perlu mengawasi serta memberikan dukungan yang lebih konkret bagi industri media yang masih bertumbuh. Hanya dengan langkah nyata, dilema antara kode etik dan kebutuhan hidup ini bisa menemukan titik tengah yang lebih adil.