Oleh: Masri, SP (Penggiat Sosial)
Berdomisili di Aceh Timur
#Opini
Surat Bupati Aceh Timur Nomor 141/7043 tentang permasalahan pelaksanaan pemilihan imum, mukim, keuchik dan aparatur gampong yang diterbitkan pada 14 Oktober 2025 dinilai menimbulkan polemik dan berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum. Karena itu, dokumen tersebut layak untuk ditinjau ulang.
Surat yang diterbitkan Bupati Aceh Timur tersebut disorot karena diduga tidak memiliki legal standing yang kuat. Dokumen itu hanya berbentuk surat edaran, bukan produk hukum setingkat Peraturan Bupati (Perbup) atau Qanun, padahal regulasi terkait pengangkatan dan pemberhentian keuchik sudah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2009. Secara hierarki, Qanun tersebut merupakan dasar rujukan utama dalam proses pemilihan keuchik di Aceh, termasuk di Kabupaten Aceh Timur.
Pada poin F dalam surat itu, terdapat ketentuan yang dinilai bertentangan dengan Qanun Aceh dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa. Ketentuan yang dimaksud adalah syarat calon keuchik harus memiliki ijazah berjenjang serta melampirkan legalisir ijazah terbaru. Padahal, dalam UU Desa maupun Pasal 13 huruf e Qanun Aceh secara tegas hanya menyebutkan bahwa syarat pendidikan calon keuchik adalah minimal tamat SMP atau sederajat, yang dibuktikan dengan STTB.
Syarat tambahan berupa ijazah berjenjang dan legalisir terbaru—yang kini dijadikan dasar oleh Panitia Pemilihan Keuchik (P2K)—telah menimbulkan polemik di berbagai gampong. Kendati maksud Bupati adalah untuk menertibkan administrasi dan meminimalisir sengketa pemilihan, namun aturan tambahan tersebut justru berpotensi mendistorsi norma hukum yang lebih tinggi.
Persoalan semakin kompleks karena negara juga mengakui sistem muadalah pada satuan pendidikan pesantren, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Melalui sistem muadalah, ijazah lulusan dayah/pesantren yang terdaftar di Kementerian Agama memiliki kedudukan setara dengan pendidikan formal. Ijazah tersebut sah digunakan untuk melanjutkan pendidikan maupun memenuhi persyaratan administratif tertentu, termasuk bagi calon keuchik.
Tidak hanya memicu polemik pada tahap verifikasi administrasi P2K, sejumlah keuchik terpilih kini terganjal pelantikan akibat adanya keberatan terhadap keabsahan ijazah. Kasus ini terjadi, misalnya, di Kecamatan Nurussalam dan Ranto Peureulak.
Dalam situasi seperti ini, keuchik terpilih yang telah memenangkan proses pemilihan seharusnya tetap dilantik. Apabila kemudian ada pihak yang menggugat, mekanisme penyelesaian harus diserahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jika putusan pengadilan menyatakan bahwa ijazah tidak sah dan hasil pemilihan harus dibatalkan, maka semua pihak wajib menghormatinya.
Perlu ditegaskan bahwa Bupati tidak memiliki kewenangan untuk menentukan sah atau tidaknya ijazah seseorang. Kewenangan tersebut berada secara eksklusif di tangan pengadilan. Menunda pelantikan tanpa dasar hukum yang kuat justru berdampak luas dan merugikan masyarakat.
Karena itu, Bupati Aceh Timur bersama instansi terkait seyogianya menelaah kembali isi surat tersebut. Revisi diperlukan agar dokumen itu memiliki legal standing yang kuat, tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, serta tidak menimbulkan polemik berkepanjangan yang berpotensi merugikan para pihak, khususnya masyarakat gampong.










