Poto : Yusmiadi.SE
Aceh Timur , Satupena.co.id. Gelombang kekecewaan terus mengalir dari para Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) menyusul kebijakan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Yandri Susanto. Keputusan ini menuai protes keras, karena tidak hanya menyasar mereka yang pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tetapi juga dari berbagai partai lain seperti Gerindra, Golkar, PKS, Demokrat, NasDem, PDA, Partai Daerah, SIRA, dan PDI Perjuangan.
Di Aceh Timur, Yusmiadi, S.E., bersama empat TPP lainnya menjadi korban kebijakan ini. Sementara itu, di tingkat Provinsi Aceh, sebanyak 120 TPP mengalami nasib serupa. Secara nasional, jumlah TPP yang terkena PHK mencapai 1.040 orang tanpa alasan yang jelas. Para korban menilai kebijakan ini bukan didasarkan pada evaluasi kinerja, melainkan kepentingan politik.
Banyak TPP yang mencalonkan diri sebagai caleg dalam Pemilu 2024 mengaku telah mengikuti prosedur yang sesuai. Sebelumnya, terdapat komunikasi resmi antara Kemendesa dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memberikan pemahaman bahwa status TPP tidak menjadi penghalang untuk maju sebagai calon legislatif. Namun, setelah pemilu usai, mereka justru diberhentikan sepihak.
Merasa Dizalimi, Kebijakan Dituding Tidak Adil
“Kami merasa dizalimi. Kami bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab, tapi hanya karena pernah nyaleg, tiba-tiba diberhentikan. Ini kebijakan yang tidak adil dan sangat mencederai demokrasi,” ungkap Yusmiadi, salah satu mantan TPP yang terdampak.
Menurutnya, jika ada aturan baru mengenai larangan pendamping desa mencalonkan diri sebagai caleg, maka seharusnya diberlakukan untuk ke depan, bukan diterapkan secara surut.
“Kami sepakat jika Menteri Desa ingin menertibkan TPP. Tapi aturan baru harusnya berlaku mulai sekarang, bukan dijadikan alasan untuk mencabut hak kerja kami yang sudah berjalan bertahun-tahun,” tambahnya.
Yusmiadi, yang akrab disapa Abu Yus, mengungkapkan bahwa pada 3 Januari 2025, Kepala BPSDM Kemendesa telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 40 untuk Provinsi Aceh. SK ini seharusnya menjadi dasar bahwa nama-nama yang tercantum telah dievaluasi dan layak melanjutkan kontrak kerja. Namun, kenyataannya, banyak dari mereka tetap diberhentikan.
“Kami tetap bekerja seperti biasa karena SK 40 itu sah. Tapi selama dua bulan, dari Januari hingga Februari, honor kami tidak dibayarkan. Untuk bertahan hidup, kami harus berutang! Apalagi dalam bulan Ramadan menjelang Idulfitri, kok tega Menteri Desa menzalimi kami dengan tidak membayar honor kami?” tegasnya.
Diduga Bermuatan Politis, Evaluasi Harusnya Berdasarkan Kinerja
Seorang TPP lainnya menilai kebijakan ini sarat kepentingan politik dan mempertanyakan apakah menjadi caleg dari partai tertentu dianggap sebagai pelanggaran.
“Seharusnya yang dievaluasi adalah kinerja, bukan latar belakang politik seseorang. Jika alasan PHK ini karena pernah nyaleg, maka ini adalah bentuk ketidakadilan,” tegasnya.
Para TPP yang terdampak berharap agar pemerintah memberikan keadilan bagi mereka. Seorang mantan pendamping menyatakan harapannya agar negara tidak tebang pilih dalam membuat kebijakan.
“Kami telah mengabdikan diri untuk membantu masyarakat desa, tetapi kini justru terpinggirkan. Negara harus hadir, memberikan perlindungan, dan menjamin keadilan bagi kami. Jangan biarkan TPP menjadi korban dari kepentingan politik,” katanya penuh harap.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Kementerian Desa belum memberikan klarifikasi resmi terkait kebijakan PHK massal ini, termasuk pembayaran honor yang belum diterima para TPP. Mereka mendesak pemerintah segera menyelesaikan persoalan ini sebelum semakin banyak keluarga terdampak akibat kebijakan yang dianggap tidak manusiawi.
Reporter: ZAS
Apa dosa TPP ex caleg???