Aceh Utara, Satupena.co.id,- Di balik gemuruh sejarah perjuangan Aceh menuju damai, terdapat kisah-kisah yang tak tercatat dalam buku atau diabadikan dalam monumen. Salah satunya adalah Hendon, seorang perempuan paruh baya yang kini terbaring lemah di ranjang, ditemani sunyi yang panjang. Ia bukan kombatan, tapi ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) — seorang pejuang tanpa senjata, tanpa pangkat, tanpa sorotan.
Dulu, saat konflik mengoyak tanah rencong, Hendon mengambil peran yang tak kalah berani. Ia menyuplai logistik kepada para kombatan GAM yang bergerilya di hutan. Beras, uang hasil menjual pisang dan sayur keliling, atau makanan seadanya—semua ia kirimkan dengan penuh risiko, melewati ladang dan hutan, demi perjuangan yang ia yakini.
“Kadang dia cuma bawa sekarung beras, kadang uang dari jualan keliling. Tapi dia tak pernah berhenti membantu,” ujar seorang warga yang mengenal dekat sosok Hendon.
Kini, ketika suara tembakan telah digantikan kidung perdamaian, Hendon justru dilupakan. Di rumah kayu yang mulai lapuk di sudut desa, ia berbaring tanpa daya, digerogoti penyakit dan kesepian. Tak ada bantuan khusus, tak ada pengakuan. Mereka yang dulu ia bantu telah lama pergi, dan negeri yang ia perjuangkan seakan tak lagi menoleh.
“Dulu dia rela mempertaruhkan segalanya, sekarang dia terbaring lemah, dan seperti tak dianggap ada,” tutur warga lain dengan mata yang mulai basah.
Kisah Hendon adalah cermin retak dari sejarah Aceh — tentang peran perempuan yang diam-diam menjadi penopang perjuangan, namun kerap luput dari perhatian. Di balik setiap kemenangan, ada tangan-tangan yang bekerja dalam senyap, seperti Hendon, yang hari ini hanya menunggu: bukan bala tentara, tapi sedikit perhatian dan pengakuan dari negeri yang ia bantu tegakkan.
Reporter: ZAS