Scroll untuk baca artikel
BeritaOpini

TRANFORMASI GURU DI ERA DISRUPSI: BUKAN LAGI SUMBER ILMU, TAPI NAVIGATOR LITERASI

7
×

TRANFORMASI GURU DI ERA DISRUPSI: BUKAN LAGI SUMBER ILMU, TAPI NAVIGATOR LITERASI

Sebarkan artikel ini
Opini: Oleh Prof. Dr. Zulfikar Ali Buto Siregar, S.Pd.I., M.A,Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Satupena.co.id-
Cerita sebuah ruang kelas pada abad pertengahan, seorang guru atau lebih tepatnya seorang cendekiawan, berdiri di depan segelintir murid. Di tangannya, sebuah buku langka yang mungkin satu-satunya salinan di wilayah itu. Pengetahuannya adalah harta karun, sebuah otoritas yang tak terbantahkan. Ia adalah sumber utama, bahkan satu-satunya sumber, dari segala ilmu yang layak diketahui. Cepatlah maju ke era 1990-an. Gambarnya mungkin tidak terlalu berbeda. Guru masih berdiri di papan tulis, dengan buku paket sebagai kitab suci. Informasi memang sudah lebih tersebar, tetapi aksesnya masih terbatas pada perpustakaan, ensiklopedia, dan otoritas guru itu sendiri.

Lintaskan pikiran kita ke hari ini. Seorang siswa duduk di bangku kelas, dan di saku celananya tersimpan sebuah perangkat yang mengakses hampir seluruh pengetahuan umat manusia. Dengan beberapa ketukan jari, ia dapat menyaksikan kuliah dari profesor MIT, menjelajahi artefak Museum Louvre dalam realitas virtual, atau mempelajari coding dari seorang ahli di Silicon Valley. Dalam dunia seperti ini, pertanyaannya menjadi mendesak dan filosofis. Apa peran guru ketika informasi telah menjadi komoditas yang melimpah, murah, dan instan?

Era disrupsi digital telah menggeser fondasi pendidikan tradisional secara seismik. Disrupsi ini bukan sekadar tentang kehadiran teknologi, tetapi tentang perubahan paradigma dalam cara kita mengakses, memverifikasi, dan membangun pengetahuan. Guru, yang selama berabad-abad dimahkotai sebagai “sumber ilmu”, kini harus merelakan mahkota itu. Namun, ini bukanlah sebuah degradasi, melainkan sebuah evolusi yang lebih mulia dan menantang. Peran baru mereka adalah sebagai Navigator Literasi sebuah peran yang tidak kalah sentral, bahkan mungkin lebih krusial, dalam membentuk pikiran generasi mendatang.

Baca juga Artikel ini :  SMA Negeri 1 Murah Mulia Peringati Maulid Nabi SAW, Pererat Silaturahmi dan Santuni Anak Yatim

Revolusi digital telah menghancurkan premis kelangkaan ini dan menggantinya dengan kelimpahan yang hampir tak terbatas. Internet adalah perpustakaan terbesar yang pernah ada, tetapi tanpa penjaga perpustakaan yang jelas. Setiap orang bisa menjadi penerbit, setiap opini bisa disajikan sebagai fakta, dan setiap teori konspirasi bisa terlihat sama meyakinkannya dengan penemuan ilmiah yang telah diverifikasi sejawat.

Baca juga Artikel ini :  Dankormar Pimpin Presentasi Kendaraan Taktis MAZ-5362H5 Dari PT SATYA WACANA SANTHOSA

Konteks inilah guru sebagai “sumber ilmu” menjadi tidak relevan. Mengapa menghafal tanggal-tanggal peristiwa sejarah jika Wikipedia dapat memberikannya dalam 0,3 detik? Mengapa mengingat rumus kimia yang kompleks jika aplikasi seperti Photomath dapat memecahkan persamaan dengan memindainya? Tugas menghafal, yang dulu menjadi tulang punggung pendidikan, telah diambil alih oleh mesin. Ini membebaskan pendidikan untuk fokus pada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh mesin pencari,  berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan karakter.

Di lautan informasi yang tak bertepi, guru berperan sebagai kurator yang memilihkan sumber-sumber yang kredibel, relevan, dan bermutu. Ia tidak lagi mengatakan, “Baca bab 5,” tetapi, “Mari kita bandingkan analisis dari jurnal akademis ini, artikel populer dari media ternama, dan video YouTube dari seorang influencer. Mana yang lebih dapat dipercaya dan mengapa?” Guru mengajarkan siswa untuk mengenali bias, memeriksa fakta, dan memahami konteks di balik sebuah informasi. Mereka adalah penyaring pertama yang melindungi siswa dari misinformasi dan disinformasi.

Guru merancang pengalaman belajar yang memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Ini adalah pergeseran dari model “bank” pendidikan (di mana pengetahuan ‘ditabung’ ke dalam otak siswa) menuju model “konstruktivis”. Guru menciptakan proyek-proyek kolaboratif, masalah dunia nyata yang kompleks, dan scenario-based learning. Perannya adalah sebagai fasilitator yang memandu proses inquiri, eksperimen, dan diskusi, alih-alih sebagai pemberi ceramah satu arah.

Baca juga Artikel ini :  Hangatnya Jumat Barokah: Warga Kampung Remesen Tersenyum, Polisi Hadir Membawa Harapan

Literasi di era modern bukan hanya tentang membaca teks (literasi baca-tulis). Ia mencakup spektrum yang sangat luas. Literasi Digital memahami jejak digital, privasi, keamanan siber, dan etika berkomunikasi di dunia online. Literasi Data memberikan kemampuan untuk membaca, menganalisis, dan membuat kesimpulan dari data. Di dunia yang dipenuhi big data, ini adalah keterampilan super. Literasi Emosional dan Sosial memberikan kemampuan untuk berkolaborasi, berempati, dan berkomunikasi secara efektif dalam tim yang beragam keterampilan yang tak ternilai dalam dunia kerja modern. Literasi Finansial dan Kewirausahaan  kemampuan memahami cara uang bekerja dan mengembangkan pola pikir inovatif. Guru sebagai navigator bertugas mengintegrasikan semua literasi ini ke dalam kurikulum, menjadikan pembelajaran lebih holistik dan kontekstual.