ACEH TENGAH

Surga Kecil yang Terluka: Simeulue dalam Cengkeraman

72
×

Surga Kecil yang Terluka: Simeulue dalam Cengkeraman

Sebarkan artikel ini

0:00

Takengon- satupena.co.id

*Penulis : Ahmad Hidayat.SE.*

Simeulue, pulau kecil di barat Aceh, selama ini hidup dalam damai bersama alam. Hutan lindung, pantai, dan mangrove menjadi nafas kehidupan warganya. Tapi kini, surga kecil itu terluka bukan karena bencana alam, tapi karena tangan manusia yang mengabaikan hukum dan nurani.

PT Raja Marga, sebuah perusahaan sawit, diduga membuka lahan Tampa izin, lebih-lebih Mereka menebang hutan lindung, merusak mangrove, dan menyerobot sempadan pantai tanpa mengindahkan aturan. Yang lebih menyakitkan mereka tetap berjalan, sementara rakyat berteriak tanpa banyak didengar.

Kami tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang menindas lingkungan dan mengabaikan hak rakyat bukan kemajuan itu perampasan.

_Ini bukan sekadar tentang sebuah nama perusahaan. Ini adalah cermin dari harapan yang retak, keadilan yang tertahan, dan keberanian yang diuji. Di balik senyapnya kasus ini tersimpan luka kepercayaan publik yang terus menganga. Disaat lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi pelindung kebenaran justru memilih bungkam, kita tak bisa menahan tanya sebesar apa kekuatan yang sedang menyelubungi PT Raja Marga? Dan lebih menyakitkan lagi apakah keheningan ini lahir dari rasa takut ataukah dari sebuah kesepakatan gelap yang tak pernah terungkap?_

Pemerintah daerah telah bereaksi. DPRK sudah bersuara. Tapi tanpa tindakan hukum tegas, semua itu hanya jadi arsip tanpa nyawa. Hukum harus hadir, bukan hanya untuk rakyat kecil, tapi juga bagi mereka yang berani melangkahi aturan.

Baca juga Artikel ini :   Babinsa Koramil 09/Ketol Laksanakan Komsos Bersama PPL dan Masyarakat

Simeulue mungkin kecil, tapi lukanya adalah gambaran dari wajah keadilan negeri ini. Jika pulau sekecil ini bisa diabaikan, lalu siapa yang akan menjamin tempat lain tidak bernasib sama?

Kami hanya ingin satu hal pulihkan luka ini. Dengarkan suara kami. Jangan biarkan surga kecil ini mati perlahan karena diam dan pembiaran.

PT Raja Marga. Nama yang dulu ramai diperbincangkan, kini tinggal gema samar dalam ingatan publik. Seperti kisah yang sengaja dipotong sebelum klimaksnya, jejak perusahaan ini menghilang begitu saja tanpa penjelasan yang memadai. Tidak ada pernyataan resmi. Tidak ada penegakan hukum yang bisa dirujuk. Yang ada hanya sepi—dan dalam sepi itu, tumbuh kecurigaan yang kian menguat dari hari ke hari.

Pertanyaannya sederhana, tetapi menyakitkan: mengapa bisa sesunyi ini? Apakah benar hukum kita tumpul ke atas? Apakah sistem yang kita banggakan begitu mudah ditundukkan oleh kepentingan segelintir elite? Atau jangan-jangan, diam ini adalah bentuk kompromi yang sengaja dipilih antara kekuasaan, modal, dan mereka yang duduk di kursi pengambilan keputusan?

Dalam setiap kasus besar yang menguap tanpa penyelesaian, publik belajar membaca pola. Ada kekuatan besar yang mampu membungkam. Suara aktivis hanya bergema di media sosial. Seruan tokoh masyarakat hanya jadi kutipan pendek dalam berita. Laporan ke penegak hukum pun seperti menguap ke langit tidak pernah kembali dengan progres. Ini bukan fenomena baru, tapi mengapa terus terulang?

Baca juga Artikel ini :   Wakili Kapolres Aceh Tengah, Wakapolres Hadiri Pelepasan 155 Jama'ah Haji Kabupaten Setempat

Kita menghadapi situasi di mana pelanggaran diduga terjadi, namun penyelesaiannya tak kunjung tampak. Apakah karena pelaku berada terlalu dekat dengan pusat kekuasaan? Ataukah sistem hukum kita begitu mudah dinegosiasikan dalam lorong-lorong gelap kekuasaan? Ini bukan sekadar kritik, tapi bentuk keprihatinan yang lahir dari kesadaran bahwa jika ini terus dibiarkan, maka keadilan hanya akan menjadi slogan kosong dalam buku teks kewarganegaraan.

Jika PT Raja Marga adalah gambaran dari bagaimana hukum bisa ditangguhkan demi kenyamanan segelintir orang, maka ini menjadi ironi besar dalam sistem demokrasi kita. Di satu sisi, kita mengklaim sebagai negara hukum. Di sisi lain, hukum bisa begitu lentur bukan untuk rakyat kecil, tapi untuk mereka yang memiliki koneksi dan pengaruh.

Kita sedang menyaksikan panggung kekuasaan di mana tirai gelap menutupi peran sebenarnya dari para aktor di belakang layar. Di sini, pengadilan tak ubahnya panggung drama penuh akting, tapi kosong makna. Rakyat hanya menjadi penonton pasif yang disuguhi janji-janji tanpa penyelesaian.

Apa yang terjadi dengan PT Raja Marga adalah pengingat bahwa reformasi hukum yang kita bangun selama lebih dari dua dekade masih menyisakan banyak celah. Celah yang bisa disusupi oleh kepentingan pribadi, kepentingan politik, dan lebih parah lagi kepentingan oligarki.

Baca juga Artikel ini :   Wujud Kepedulian Terhadap Warga, Babinsa Koramil 10/Celala Laksanakan Komsos di Desa Blang Delem

Jangan salah, PT Raja Marga bukan sekadar entitas bisnis. Ia adalah simbol. Simbol dari lemahnya akuntabilitas, runtuhnya integritas, dan menguatnya mentalitas “asal aman”. Ketika publik bertanya dan negara diam, maka yang terancam bukan hanya kredibilitas institusi hukum, tapi juga legitimasi moral pemerintah.

Kita tidak bisa terus-menerus menghibur diri dengan alasan teknis, prosedur panjang, atau investigasi yang masih berjalan. Transparansi bukan tentang laporan akhir semata, tapi juga proses yang terbuka dan bisa diakses publik. Ketika semuanya tertutup rapat, jangan salahkan rakyat jika akhirnya lebih percaya pada teori konspirasi daripada keterangan resmi.

Masyarakat hanya ingin satu hal: kejelasan. Karena dalam kejelasan ada keadilan, dan di dalam keadilan ada pengakuan bahwa suara rakyat masih dihargai. Ketika itu tak kunjung diberikan, yang lahir adalah apatisme. Dan apatisme adalah kematian perlahan bagi demokrasi.

Kita tidak bisa terus diam. Pers, masyarakat sipil, dan semua elemen bangsa harus bersama-sama menagih jawaban. Menolak lupa. Karena membiarkan satu kasus besar menguap tanpa penyelesaian, berarti membuka jalan bagi seribu kasus serupa lainnya untuk lahir.

Keadilan tidak bisa menunggu. Dan palu keadilan tidak seharusnya digantung. Ia harus diketukkan. Tegas. Terbuka. Dan berpihak kepada kebenaran bukan kepada kekuasaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *