Lhokseumawe, Satupena.co.id. – Dugaan praktik percaloan di tubuh Kantor Imigrasi Kelas II TPI Lhokseumawe mencuat ke permukaan dan menimbulkan gelombang kekecewaan publik. Sejumlah warga mengaku dipaksa mengeluarkan biaya di luar tarif resmi demi mempercepat pengurusan paspor dan dokumen keimigrasian. Praktik ini bukan saja mencoreng wajah pelayanan publik, tapi juga menodai semangat reformasi birokrasi yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
“Katanya sudah sistem online, tapi di lapangan tetap saja bisa diurus lewat calo yang katanya orang dalam,” ujar salah satu warga yang baru-baru ini mengurus dokumen keimigrasian di kantor tersebut (26/10/25).
Ia menegaskan, biaya tambahan yang diminta tak tercatat dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), melainkan diduga mengalir langsung ke kantong oknum pejabat.
Menurut (SL), bagian Inteldakim (Intelijen dan Penindakan Keimigrasian) juga terkesan lamban dalam memproses berkas warga. “Padahal, biaya resmi untuk paspor rusak atau hilang sudah diatur jelas. Tapi kalau tidak ada ‘uang pelicin’, berkas bisa berhari-hari tidak jalan,” ungkapnya kesal.
Lebih memprihatinkan lagi, muncul kabar adanya syarat tambahan tidak resmi yang dijadikan alat pemerasan. Bila pemohon tak mampu memenuhinya, sejumlah uang diminta sebagai pengganti. Situasi ini membuat masyarakat kecil makin terjepit dan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pelayanan publik.
Seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya membenarkan adanya praktik percaloan yang diduga melibatkan pegawai internal dan petugas keamanan kantor.
“Sudah lama begitu. Yang main bukan orang luar, tapi justru orang dalam yang memfasilitasi,” katanya.
Menurutnya, praktik kotor ini bertahan karena lemahnya pengawasan internal dan tingginya permintaan layanan cepat dari masyarakat. “Kalau pengawasan tegas, orang-orang seperti itu tidak akan berani. Tapi karena dibiarkan, akhirnya jadi kebiasaan,” ujarnya menambahkan.
Dugaan praktik percaloan di Kantor Imigrasi Lhokseumawe ini memicu desakan keras masyarakat kepada Kementerian Hukum dan HAM agar segera turun tangan melakukan audit menyeluruh. Publik menuntut agar Kantor Wilayah Kemenkumham Aceh tidak hanya melakukan klarifikasi di atas kertas, tetapi juga menindak tegas oknum yang terbukti bermain.
“Ini bukan lagi isu kecil. Kalau Kemenkumham serius dengan jargon ‘Imigrasi Bersih’, maka kasus ini harus dibongkar sampai akar,” ujar seorang aktivis pemantau pelayanan publik di Lhokseumawe.
Kasus Lhokseumawe menambah daftar panjang potret buram reformasi birokrasi di sektor pelayanan publik. Program digitalisasi dan transparansi biaya yang digembar-gemborkan Kemenkumham belum sepenuhnya menyentuh realitas di lapangan. Di balik meja layanan berlabel “tanpa calo”, praktik lama rupanya masih hidup sistem mungkin sudah modern, tapi mentalitas oknum tetap konvensional.
Hingga berita ini diterbitkan, Kepala Seksi Teknologi Informasi Keimigrasian, Izhar Rizki, yang dihubungi melalui pesan WhatsApp, belum memberikan tanggapan resmi. Upaya konfirmasi melalui sambungan telepon ke pihak kantor juga tak direspons.
Diamnya pihak imigrasi justru mempertebal kecurigaan publik: ada apa sebenarnya di balik meja pelayanan Kantor Imigrasi Lhokseumawe?
Wartawan telah berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak Kantor Imigrasi Kelas II TPI Lhokseumawe hingga berita ini tayang. Namun, tidak ada satu pun pejabat yang bersedia memberikan keterangan bahkan oknum pejabat Imigrasi juga tidak memberikan no Kepala Imigrasi dan no humas ,publik kini menunggu langkah konkret dari Kementerian Hukum dan HAM untuk memastikan pelayanan keimigrasian kembali ke jalur bersih dan transparan bukan menjadi ladang pungli yang menindas rakyat di tanah sendiri. ( Y )







