Aceh Timur, Selasa 2 Desember 2025 — Banjir bandang dahsyat yang melanda hampir seluruh wilayah Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara sejak Senin hingga Sabtu, 29 November 2025, berubah menjadi bencana kemanusiaan terbesar dalam satu dekade terakhir. Tinggi air yang mencapai lima meter bukan hanya merendam permukiman, tetapi menghapus seluruh jejak kehidupan masyarakat—rumah, fasilitas umum, ternak, dan harta benda. Banyak warga bahkan bercerita bahwa mereka hanya keluar dengan pakaian di badan, selebihnya hilang ditelan arus.
Di Kecamatan Pante Bidari, salah satu wilayah paling parah terdampak, derita warga semakin lengkap. Banjir tidak hanya menghancurkan rumah-rumah penduduk, tetapi juga melumpuhkan seluruh pusat pelayanan publik. Kantor Camat, Mapolsek, dan Kantor Koramil Pante Bidari ikut tenggelam. Bahkan Puskesmas—yang seharusnya menjadi benteng terakhir pelayanan kesehatan—juga terendam, membuat masyarakat kehilangan akses dasar untuk berobat.
Akibatnya, selama enam hari terjebak dalam kepungan air, banyak warga meninggal dunia bukan hanya karena terseret arus, tetapi karena sakit, kelaparan, dan kedinginan. Anak-anak menangis semalaman dengan perut kosong. Orang tua menggigil tanpa selimut. Para lansia terbaring lemah tanpa obat dan tanpa tenaga medis.
Di tengah ketiadaan pemerintah kabupaten, satu-satunya sosok yang terlihat berjuang di lapangan hanyalah Camat Pante Bidari Bersama Danramil. Keduanya turun langsung menyusuri desa-desa terdampak banjir, meskipun tanpa perlengkapan memadai. Mereka datang dengan peralatan seadanya, tanpa alat evakuasi, tanpa logistik pemerintah, bahkan tanpa satu pun speed boat yang seharusnya menjadi perlengkapan standar dalam operasi penyelamatan banjir.
Camat dan Danramil hanya bisa berdiri menyaksikan ribuan warganya terjebak di tengah banjir setinggi lima meter, sementara jeritan minta tolong terdengar dari segala arah. Mereka berupaya semaksimal mungkin, tetapi tangan mereka terikat. Tanpa speed boat, tanpa perahu karet, tanpa alat selam, tanpa dukungan tim penyelamat, mereka praktis tidak dapat melakukan evakuasi apa pun. Banyak warga yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan, terjebak di atap rumah, pepohonan, bahkan bertahan hidup bergelantungan di pelepah sawit, menunggu pertolongan yang tak kunjung datang.
Kehadiran Camat dan Danramil adalah bukti bahwa masih ada pejabat yang peduli. Namun tanpa dukungan pemerintah kabupaten, kehadiran dua orang ini tak cukup menyelamatkan ribuan jiwa yang terancam. Yang diperlukan adalah negara—yang sayangnya pada saat genting itu tidak hadir.
Selain Camat dan Danramil yang berjuang dengan segala keterbatasan, tampak juga hadir M. Yusuf—akrab disapa Pang Ucok—anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh. Di saat pejabat kabupaten tidak terlihat di lapangan, Pang Ucok justru turun langsung meninjau desa-desa terdampak banjir di Pante Bidari. Kehadirannya memberikan sedikit harapan bagi warga yang sudah enam hari terisolasi tanpa bantuan memadai.
Meski begitu, ia pun menghadapi masalah serupa: minimnya peralatan penyelamatan. Tanpa speed boat, tanpa dukungan logistik resmi, dan tanpa tim evakuasi profesional, upaya yang bisa dilakukan sangat terbatas. Pang Ucok bersama Camat dan Danramil hanya mampu menjangkau sebagian kecil wilayah yang relatif aman untuk dilalui, sementara ratusan warga lainnya terjebak di daerah yang harusnya sudah dievakuasi sejak hari pertama.
Namun setidaknya, ketiganya menunjukkan bahwa masih ada pihak yang peduli dan berani hadir langsung di tengah ancaman banjir. Ironisnya, mereka hadir tanpa dukungan yang seharusnya disiapkan oleh pemerintah kabupaten, sehingga upaya penyelamatan yang dilakukan tetap jauh dari kata maksimal.
Namun yang paling menyayat hati bukan hanya banjirnya—tetapi ketiadaan pemerintah.
Selama enam hari banjir menenggelamkan ribuan rumah dan mengancam ribuan nyawa, masyarakat Pante Bidari mengaku tidak melihat satu pun tanda kehadiran pemerintah Kabupaten Aceh Timur. Tidak ada posko resmi, tidak ada tim penyelamat, tidak ada logistik, tidak ada bantuan kesehatan, tidak ada pemantauan lapangan.
Air sudah mulai surut, sebagian warga mulai pulang untuk melihat sisa-sisa rumah yang tinggal fondasi, sebagian lain masih bertahan di posko pengungsian karena rumah mereka hilang seluruhnya—tetapi tim penanggulangan bencana belum juga muncul. Seperti bumi terbelah, rakyat di satu sisi meratap, pemerintah di sisi lain diam membatu.
“Bukti paling menyakitkan adalah ribuan warga terancam mati kelaparan, tapi tidak ada satu pun perahu evakuasi dari BPBD. Banyak warga yang bergelantungan di pepohonan, bahkan ada yang bertahan di atas pohon sawit selama berjam-jam menunggu bantuan. Tidak ada satu tim pun datang, ujar seorang tokoh masyarakat dengan suara bergetar menahan kesal.
Saat air terus naik, ribuan warga panik melarikan diri ke masjid, meunasah, dayah, dan dataran yang mereka anggap aman. Tetapi kenyataannya, tempat-tempat itu juga ikut terendam. Warga terpaksa menyelamatkan diri di tengah malam gelap gulita, membawa anak-anak yang menangis ketakutan, meraba-raba jalan di tengah derasnya arus.
Mereka yakin pemerintah akan datang. Mereka percaya akan ada evakuasi. Tapi harapan itu hancur.
Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dengan slogan “GARANG” tidak terlihat batang hidungnya, Garang untuk apa? Garang untuk siapa? Rakyat membutuhkan kehadiran, bukan sekadar slogan.
Tidak adanya logistik dari pemerintah daerah membuat para kepala desa panik. Ribuan warga kelaparan di posko. Anak-anak menangis tanpa makanan. Lansia lemah tidak bisa berdiri.
“Kami terpaksa menggunakan anggaran apa saja yang bisa dipakai. Lebih baik melanggar aturan daripada warga mati kelaparan, ujar seorang kepala desa yang meminta namanya disembunyikan.
Ia mengaku mengambil dana sisa anggaran yang bukan untuk penanggulangan bencana, hanya agar pengungsi tidak meregang nyawa.
“Kalau menunggu BPBD, bisa-bisa besok tinggal menyusun nama korban,tambahnya.
Yang lebih menyedihkan lagi, meski puluhan warga telah dilaporkan meninggal dunia—ada yang terseret arus, ada yang terjebak, ada yang sakit tanpa pengobatan—tidak terlihat satu pun tindakan cepat tanggap dari pemerintah daerah. Padahal BPBD, Dinas Sosial, dan instansi terkait seharusnya berada di garda depan sejak menit pertama bencana terjadi.
Rakyat bertanya-tanya, Apakah pemerintah benar-benar tidak tahu?
Atau pura-pura tidak mau tahu?
Berapa banyak lagi nyawa melayang sebelum mereka bergerak?
Banjir kali ini bukan sekadar bencana alam—tetapi juga potret nyata gagalnya negara hadir pada saat rakyatnya berada di ambang kematian.
Reporter: ZAS










