Jakarta – Di tengah derasnya wacana pembangunan dan transformasi pendidikan nasional, publik kembali dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut bahwa anggaran pendidikan tak selalu mencapai 20% dari total APBN karena fluktuasi belanja negara. Menurutnya, fenomena ini bukan bentuk pelanggaran terhadap amanat konstitusi, melainkan konsekuensi dari mekanisme fiskal dan prioritas pengeluaran negara yang dinamis. Ia menegaskan bahwa anggaran pendidikan tidak harus selalu habis digunakan, karena efektivitas belanja lebih penting daripada mengejar serapan angka semata.
Namun, pandangan ini langsung mendapat kritik keras dari Dr. Iswadi, M.Pd., seorang pakar pendidikan nasional dan pendiri Pejuang Pendidikan Indonesia. Baginya, penjelasan Sri Mulyani tidak lebih dari pembenaran administratif, yang gagal memahami esensi konstitusi dan urgensi pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Alasan ini seolah logis secara teknis, tetapi sesungguhnya mengaburkan masalah utama: ketidakseriusan negara dalam memprioritaskan pendidikan, tegas Dr. Iswadi.
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut mengatakan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 telah secara eksplisit memerintahkan bahwa 20% anggaran pendapatan dan belanja negara wajib dialokasikan untuk sektor pendidikan . Ini bukan sekadar angka simbolik, tetapi representasi dari komitmen negara untuk menjamin hak dasar warga negara: pendidikan yang bermutu dan merata.
Sayangnya, realisasi anggaran pendidikan dalam beberapa tahun terakhir terus tertinggal dari amanat tersebut. Data mencatat anggaran pendidikan hanya berkisar 15–17% dari APBN. Bahkan, pada tahun 2022 hanya mencapai 15,6%. Ketika situasi ini dipertanyakan oleh DPR, Menteri Keuangan berdalih bahwa lonjakan subsidi energi dan bunga utang membuat porsi belanja pendidikan secara persentase terlihat lebih kecil.
Namun menurut Dr. Iswadi, pendekatan seperti ini mencerminkan pola pikir fiskalistik yang cenderung menyepelekan dimensi strategis pendidikan. Ia menilai bahwa menempatkan pendidikan sebagai variable yang dapat dikompensasi oleh fluktuasi komponen lain adalah bentuk pengingkaran terhadap urgensi pembangunan manusia Indonesia.
Konstitusi tidak menyatakan jika tidak ada subsidi tinggi, maka 20% diberikan untuk pendidikan. Tidak ada klausul pengecualian. Maka alasan volatilitas APBN adalah alasan yang manipulatif,” papar Iswadi.
Ia juga menyoroti soal distribusi anggaran pendidikan yang terlalu menyebar ke berbagai kementerian dan lembaga, yang akhirnya membuat pengawasan, akuntabilitas, dan efektivitasnya menurun drastis. Dari total alokasi pendidikan nasional, hanya sekitar 40% yang benar-benar dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Selebihnya tersebar ke Kemenag, Dana Alokasi Umum (DAU), hingga program di kementerian desa dan pertahanan.
Pendidikan menjadi seperti proyek siluman, tersembunyi di balik angka, dibagi-bagi ke banyak lembaga, tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab, kritiknya. Baginya, sistem ini tidak hanya menyulitkan pertanggungjawaban, tapi juga mengaburkan manfaat langsung kepada masyarakat. Banyak dana pendidikan yang habis untuk belanja birokrasi, perjalanan dinas, dan program seremonial, sementara ribuan sekolah rusak berat, kekurangan guru, serta anak-anak miskin tak terjangkau beasiswa.
Dalam upaya membela pendekatan fiskalnya, Sri Mulyani menyebut Dana Abadi Pendidikan sebagai instrumen masa depan yang menjamin keberlanjutan belanja pendidikan. Tapi Iswadi menyebut ini sebagai jebakan retoris , yang membuat publik lupa bahwa kebutuhan pendidikan bersifat kini dan mendesak, bukan sekadar jangka panjang.
Apa gunanya menyimpan ratusan triliun untuk 10 tahun mendatang, sementara ribuan siswa hari ini belajar tanpa bangku, tanpa guru tetap, dan tanpa buku ajar yang layak?
Bagi Iswadi, dana pendidikan harus menyentuh akar persoalan: ketimpangan akses, rendahnya kualitas guru, serta ketidakmerataan sarana dan prasarana di daerah tertinggal.
Terbaru, Menkeu juga menggulirkan wacana agar formula alokasi 20% dari total APBN dikaji ulang. Ia menyarankan agar belanja pendidikan diukur dari pendapatan negara atau kebutuhan sektoral. Dr. Iswadi secara tegas menolak usulan ini karena dikhawatirkan membuka celah pelemahan komitmen negara terhadap pendidikan.
Kalau rumus diubah, maka komitmen bisa berubah. UUD tak bisa ditawar. Pendidikan bukan barang dagangan yang dihitung untung rugi, ujarnya lantang.
Dr. Iswadi mengajukan beberapa solusi konkret untuk menyelamatkan kredibilitas dan efektivitas anggaran pendidikan:
Pertama Konsolidasikan pengelolaan di Kemendikbudristek agar kebijakan lebih terkoordinasi dan akuntabel.
Kedua Audit terbuka dan rutin terhadap seluruh pos belanja pendidikan, termasuk yang tersembunyi di luar Kemendikbudristek.
Ketiga Fokus pada kebutuhan nyata pemenuhan guru ASN, perbaikan fasilitas sekolah, bantuan siswa miskin, pelatihan guru, dan peningkatan mutu kurikulum.
Keempat Evaluasi sistem dana abadi, agar tidak menjadi dana pasif, melainkan instrumen aktif pembiayaan pendidikan dasar-menengah.
Pernyataan Sri Mulyani, yang dibungkus retorika efisiensi fiskal dan logika teknokratis, bagi Dr. Iswadi justru menunjukkan ketimpangan cara pandang negara terhadap pendidikan. Pendidikan tidak bisa diperlakukan seperti proyek infrastruktur yang menunggu feasibility study. Pendidikan adalah hak dasar rakyat dan kewajiban negara yang tidak boleh dinegosiasikan dengan dinamika fiskal.
Jika negara terus bersembunyi di balik alasan statistik dan strategi fiskal, maka bukan hanya pelajar yang dikorbankan, tetapi juga masa depan bangsa yang perlahan terkikis.
Jangan jadikan akal-akalan fiskal sebagai tameng kegagalan negara memenuhi amanat konstitusi. Rakyat butuh pendidikan nyata, bukan alasan belanja negara, tutup Iswadi.
Peryataani ini membentangkan dengan tajam bagaimana kritik Iswadi bukan sekadar reaksi emosional, melainkan sebuah panggilan agar negara kembali ke jalur konstitusi: menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, bukan beban anggaran.