Oleh. Prof. Dr. Zulfikar Ali Buto Siregar, S.Pd.I., M.A,Direktur Pascasarjana UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Satupena.co.id – Perilaku menyimpang di sekolah semakin sering menjadi perhatian publik. Mulai dari ketidakdisiplinan, penyalahgunaan media sosial, perundungan (bullying), hingga perilaku konsumtif dan hedonistik yang muncul saat remaja. Sebelum membuat keputusan moral tentang tindakan tersebut, kita harus mempertimbangkannya dalam konteks perkembangan sosial dan psikologis anak, yang sedang melalui masa transisi penting dari ketergantungan menuju kemandirian. Usia sekolah, terutama di jenjang menengah, adalah fase perkembangan yang rumit. Peserta didik saat ini mengalami perubahan yang cepat dalam hal fisik, emosional, dan sosial. Mereka mulai mencari identitas, mencoba menegaskan eksistensi mereka, dan seringkali bertindak di luar aturan sebagai cara untuk mengekspresikan kebebasan mereka. Perilaku “menyimpang” seringkali merupakan sinyal dari proses pencarian identitas yang belum matang, menurut psikologi perkembangan.
Lingkungan sosial sangat memengaruhi perilaku peserta didik. Karena globalisasi dan kemajuan teknologi, nilai-nilai sosial menjadi berubah. Anak-anak semakin terpapar pada budaya digital dan gaya hidup yang tidak selalu sesuai dengan prinsip pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah. Media sosial, misalnya, sering menjadi tempat untuk mengembangkan perilaku baru yang lebih suka meniru dan mencari dukungan dari orang lain. Akibatnya, hal-hal seperti pamer gaya hidup, ujaran kebencian, atau keterlibatan dalam tren berisiko hanya untuk mendapatkan pengakuan muncul.
Agar tidak terjadi penyimpangan, sekolah sebenarnya memiliki tanggung jawab strategis untuk mengarahkan energi perkembangan ini. Kegiatan ekstrakurikuler, pendidikan karakter, dan konseling dapat membantu siswa menyalurkan potensi dan emosi mereka. Namun, kurangnya kerja sama antara guru, orang tua, dan lingkungan masyarakat sering kali menghalangi upaya ini. Banyak kasus kenakalan remaja justru disebabkan oleh komunikasi yang buruk dalam keluarga dan kurangnya orang yang memberi contoh bagi anak-anak.
Oleh karena itu, keluarga dan sekolah sangat penting. Sekolah harus berubah dari perspektif yang hanya menuntut kedisiplinan. Sebaliknya, mereka harus menjadi lembaga yang memahami psikologi perkembangan. Kehadiran guru BK yang empatik, proaktif, dan dianggap sebagai “sahabat” siswa sangat penting. Orang tua di rumah harus berkomunikasi dengan anak-anak dengan cara yang terbuka dan tidak bias. Seringkali, lebih baik memberikan hukuman secara langsung daripada mendengarkan alasan di balik perilaku seseorang.
Untuk mencapai pemahaman peran yang saling melengkapi, sekolah dan orang tua harus bekerja sama secara erat untuk mengatasi perilaku menyimpang anak di sekolah. Langkah pertama adalah menjalin komunikasi yang terbuka dan konsisten. Sekolah harus memberikan informasi tentang setiap perubahan dalam perilaku siswa secara objektif dan tanpa bias, sementara orang tua diharapkan untuk menerima kritik dari sekolah. Laporan perkembangan siswa, pertemuan rutin, dan media komunikasi khusus antara wali kelas dan orang tua adalah beberapa cara yang dapat membantu siswa berkomunikasi dengan baik. Keluarga dan sekolah akan dapat memahami masalah perilaku anak dengan komunikasi yang sehat di kedua sisi.
Langkah berikutnya adalah menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perilaku menyimpang secara menyeluruh. Sekolah dapat melacak perilaku anak di kelas melalui guru BK dan wali kelas. Di sisi lain, orang tua dapat melihat hal-hal yang mungkin terjadi di rumah, seperti tekanan emosional, pengaruh pertemanan, atau pola pengasuhan yang tidak konsisten. Identifikasi ini penting untuk penanganan yang tidak hanya berfokus pada hukuman tetapi juga pada pendekatan edukatif dan psikologis. Kedua belah pihak dapat membuat program pembinaan bersama yang berfokus pada perubahan positif setelah mengetahui penyebabnya. Sekolah dapat menanamkan kedisiplinan dan empati melalui kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler, sementara orang tua dapat membantu dan mengawasi anak-anak mereka di rumah dengan menanamkan tanggung jawab dan kebiasaan positif dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua yang bijak dan arif tidak akan marah jika anak mereka menyimpang di sekolah. Sebaliknya, mereka akan bertindak dengan tenang, rasional, dan berfokus pada pembelajaran. Orang tua tidak segera membenarkan atau menolak tindakan yang dilakukan guru terhadap anak mereka tanpa memahami konteksnya.
Mendengarkan penjelasan dari sekolah dan anak adalah langkah pertama yang dilakukan orang tua yang bijak. Mereka akan mengetahui secara objektif apa yang mendorong anak untuk berperilaku menyimpang, bagaimana peristiwa itu terjadi, dan alasan guru memberi hukuman. Orang tua menyadari bahwa disiplin seharusnya tidak melukai atau mempermalukan anak, tetapi mendidik dan memperbaikinya.
Orang tua tidak langsung beremosi atau menyalahkan guru di depan anak jika hukuman fisik dianggap berlebihan. Sebaliknya, mereka akan berkomunikasi dengan institusi pendidikan secara sopan dan konstruktif untuk mencari cara agar pembinaan anak dapat berjalan lebih efisien tanpa menggunakan kekerasan.
Selain itu, orang tua menggunakan peristiwa tersebut untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya tanggung jawab, disiplin, dan menghormati aturan. Bukan melalui ancaman atau kekerasan, orang tua yang cerdas akan mengajarkan anak mereka dengan kasih sayang dan keteladanan di rumah. Mereka menyadari bahwa kesadaran dan bimbingan moral yang konsisten adalah sumber perubahan perilaku, bukan takut. Akibatnya, hubungan antara sekolah dan keluarga tetap harmonis, yang memungkinkan anak untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik tanpa mengalami trauma.







