Bitung, Satupena.co.id.- Kota Bitung kembali diguncang isu serius terkait dugaan praktik penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar oleh jaringan terorganisir. Di tengah antrean panjang nelayan dan petani yang kesulitan mendapatkan jatah solar, mencuat nama perusahaan PT Brother yang diduga kuat menjadi aktor utama dalam skema penyelewengan solar subsidi secara sistematis. Perusahaan ini disebut dikendalikan oleh oknum berinisial Fais.23 Juli 2025.
Hasil investigasi yang dilakukan oleh jejaring media bersama aktivis LSM Gerakan Transparansi Independen (GTI) mengungkap bahwa PT Brother menjalankan aktivitas bongkar muat BBM di kawasan PT Anekaloka, Kelurahan Naemundung, Kota Bitung. Namun, saat dilakukan penelusuran ke instansi berwenang, PT Brother tidak memiliki legalitas yang sah.
“Labelnya resmi, tapi dokumennya fiktif. Nggak ada izin migas, dan tidak terdaftar sebagai konsumen resmi BBM subsidi,” ungkap seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya.
Modus yang digunakan cukup rapi. Dengan menggunakan truk tangki dan barcode manipulatif, PT Brother secara rutin mengambil ribuan liter solar dari SPBU. Solar tersebut kemudian disalurkan ke gudang transit di Wangurer Utara, Kecamatan Madidir, sebelum dikemas ulang dan dijual ke pihak industri dengan harga tinggi.
Data investigatif mengungkapkan bahwa satu tangki berkapasitas 8.000 liter bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp 80 juta dari selisih harga solar subsidi dan solar industri. Jika empat tangki beroperasi dalam satu hari, maka potensi kerugian negara mencapai hampir Rp 300 juta per hari.
“Ini bukan sekadar pencurian BBM. Ini mafia energi yang mengatur dari hulu ke hilir,” kata sumber dari internal tim pemantau distribusi BBM.
Barcode palsu dan dokumen fiktif disebut telah menjadi “standar operasional” dalam skema ini. Bahkan kuota BBM yang seharusnya untuk nelayan dan petani dimanipulasi seolah-olah telah disalurkan, padahal dialihkan ke gudang penimbunan.
Tindakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, khususnya Pasal 53, yang mengancam pelaku penimbunan BBM subsidi dengan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda Rp 50 miliar. Selain itu, Pasal 18 Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 secara tegas melarang penyimpanan BBM subsidi tanpa izin resmi.
Yang menjadi sorotan, tiga SPBU yang menjadi titik pengambilan solar diduga dimiliki oleh satu orang yang memiliki kaitan dengan PT Brother. Jika terbukti, maka pelaku juga dapat dijerat Pasal 56 KUHP tentang pembantuan tindak pidana.
“Kalau SPBU tahu solar mereka disalurkan ke pihak tak berhak tapi tetap dijual, itu jelas pembantuan. Apalagi kalau pemiliknya juga terlibat dalam perusahaan fiktif itu, hukumannya bisa berlapis,” tegas Morhen, Ketua DPD LSM GTI.
Di sisi lain, para nelayan dan petani justru harus antre berjam-jam, bahkan terkadang gagal melaut karena kehabisan solar di SPBU. Banyak dari mereka merasa haknya dirampas.
“Kami merasa dikhianati. Negara kasih subsidi, tapi yang menikmati malah mafia. Kami antre, mereka timbun,” keluh Morhen.
LSM GTI mendesak aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, BPH Migas, Kejaksaan, Kepolisian, dan Satgas Migas, untuk menjadikan kasus ini sebagai prioritas nasional. Bukan hanya operator lapangan, tetapi otak di balik kejahatan terorganisir ini juga harus ditindak.
“Ini bukan sekadar pelanggaran teknis. Ini tragedi sosial dan bentuk pengkhianatan terhadap amanat subsidi negara. Saatnya negara turun tangan, tidak hanya dengan penyelidikan, tapi juga reformasi total sistem distribusi BBM subsidi,” tegas Morhen menutup pernyataannya.







