Aceh Timur – LSM Aceh Mangrove Care Foundation (AMC) kembali mengungkap fakta mengejutkan terkait pengrusakan masif kawasan hutan lindung di pesisir Gampong Teupin Breuh, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur. Investigasi di lapangan memperlihatkan bahwa kawasan hutan yang seharusnya dilindungi negara itu telah berubah total menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.
Dari pengamatan visual wartawan, tanaman sawit yang tumbuh di kawasan tersebut diperkirakan berumur sekitar lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembukaan, penguasaan, dan penggarapan lahan telah berlangsung cukup lama tanpa tindakan apa pun dari pihak berwenang. Hamparan sawit setinggi lebih dari dua meter dengan batang mengeras mempertegas bahwa alih fungsi hutan lindung tersebut bukan kejadian baru, melainkan aktivitas terstruktur dan terencana yang dibiarkan bertahun-tahun.
Direktur AMC, Masri, SP, menegaskan bahwa praktik pengrusakan dan penguasaan kawasan lindung ini tidak mungkin berjalan mulus tanpa keterlibatan pihak tertentu.
“Indikasi awal menunjukkan bahwa aktivitas ilegal ini tidak mungkin berjalan tanpa campur tangan oknum di tingkat desa dan pengawasan yang lemah—atau disengaja—dari KPH 3, ujar Masri. Jum’at 14 November 2025.
AMC menemukan bahwa seorang pengusaha asal Banda Aceh bernama Bukhari diduga menggarap sekitar 100 hektare hutan lindung dan mengalihfungsikannya menjadi kebun sawit yang kini sudah menghasilkan buah. Sementara itu, pengusaha asal Idi, Toke Asnawi, diduga menguasai sekitar 200 hektare kawasan yang sama.
Yang lebih mengkhawatirkan, AMC menduga adanya peran aktif oknum Kepala Desa Teupin Breuh, yang diduga memberi ruang dan restu terhadap masuknya alat berat serta aktivitas pembukaan lahan.
“Ada indikasi bahwa Kepala Desa turut memfasilitasi pengusaha-pengusaha tersebut. Ini bukan lagi isu kecil, ini persekongkolan, tegas Masri.
AMC juga menyoroti dugaan pembiaran dari pihak KPH 3, lembaga yang memiliki mandat menjaga kawasan hutan.
“KPH 3 mustahil tidak mengetahui perusakan seluas ratusan hektare. Kalau bilang tidak tahu, itu bohong. Kalau tahu tapi diam, itu kejahatan, tambahnya.
Dengan temuan dan indikasi kuat tersebut, AMC mendesak Pemerintah Aceh, Dinas Lingkungan Hidup, Gakkum KLHK, dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan.
“Ini kejahatan lingkungan yang massif. Jika dibiarkan, pesisir Aceh Timur akan menjadi zona tanpa hukum, ujar Masri.
Lebih jauh, AMC menilai negara harus segera turun tangan.
Sudah seharusnya negara hadir dan mengambil alih kembali kawasan hutan lindung yang telah dirampas dan disulap menjadi kebun sawit. Negara tidak boleh berdiam diri ketika hutan—aset publik dan ruang hidup masyarakat—dikuasai secara ilegal oleh segelintir pihak.
Pemerintah wajib menegakkan hukum, menghentikan seluruh aktivitas ilegal, dan mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana mestinya. Pembiaran atas kejahatan lingkungan ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi permainan kotor di balik penguasaan lahan.
Negara tidak boleh kalah oleh mafia lahan. Hutan lindung harus dikembalikan kepada kepentingannya: menjaga keseimbangan alam, melindungi lingkungan, dan memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Sampai berita ini disiarkan, media ini belum berhasil memperoleh konfirmasi dari Kepala Desa Teupin Breuh, pihak KPH 3 Regional Langsa, maupun para pengusaha yang disebut dalam laporan AMC.
Reporter: ZAS







