Aceh Utara, satupena.co.id Minggu (17/08/2025) – Puluhan tahun damai belum sepenuhnya menjamin keadilan administratif di Aceh Utara. Hal ini terbukti dari kisruh yang dialami warga Gampong Seuneubok Alue Tingkeum, Kecamatan Lhoksukon, yang menuding pemerintah telah menghapus legalitas desa mereka sejak 2014 tanpa penjelasan yang jelas.
Ratusan warga, mulai dari kaum ibu, pemuda, hingga orang tua, turun ke halaman Kantor Bupati Aceh Utara pada Kamis pagi (14/08/2025). Mereka menggelar aksi damai dengan membentangkan spanduk dan poster tuntutan, meminta kejelasan status desa yang selama lebih dari satu dekade tidak lagi tercatat dalam administrasi resmi.
Koordinator aksi, Khairoel Fauzar, menegaskan bahwa warga menuntut pengembalian status desa serta pengakuan sah terhadap dokumen-dokumen kependudukan mereka.
“Sejak pertengahan 2014, surat-menyurat kami ditolak pihak kecamatan. Padahal gampong kami memiliki struktur pemerintahan lengkap dan dokumen resmi seperti KTP, KK, surat tanah, hingga data kependudukan. Namun, tiba-tiba semua tidak diakui lagi, ujarnya.
Khairoel menambahkan, selain kejelasan status, warga juga mendesak agar Pemkab Aceh Utara memastikan kembali jalannya program bantuan pemerintah serta mengusut pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas hilangnya legalitas desa tersebut.
Aksi damai ini difasilitasi LBH Advokasi Nusantara untuk Keadilan Rakyat (ANKARA) bersama LSM Gerakan Aceh Membangun (GRAM) yang diketuai Muhammad Azhar. Ia menyebut, perjuangan warga Seuneubok Alue Tingkeum adalah bukti bahwa rakyat tidak boleh diam ketika haknya dirampas.
“Ini hadiah 20 tahun damai Aceh. Warga hanya ingin pengakuan atas hak dan keberadaan mereka, tegas Azhar.
Menanggapi tuntutan massa, Asisten I Sekda Aceh Utara, Dr. Fauzan, menyampaikan bahwa mekanisme pemekaran maupun pengembalian status gampong harus melalui pertimbangan Gubernur Aceh sesuai UUPA. Meski begitu, ia berjanji akan memperjuangkan aspirasi warga.
“Mari sama-sama berusaha agar Gampong Seuneubok Alue Tingkeum kembali menjadi gampong definitif. Prinsip pemekaran wilayah adalah untuk memaksimalkan pelayanan masyarakat, jelasnya.
Aksi tersebut berlangsung tertib dengan pengawalan ketat aparat keamanan. Para warga berjanji akan kembali pada Kamis (21/08/2025) untuk menindaklanjuti audiensi mendalam bersama Pemkab Aceh Utara.
Kasus Gampong Seuneubok Alue Tingkeum bukan sekadar masalah administrasi yang bisa dianggap sepele. Ini menyangkut hak konstitusional rakyat yang dijamin oleh Undang-Undang. Jika benar sejak 2014 desa ini dihapus begitu saja dari sistem pemerintahan, maka pemerintah telah abai dan lalai menjalankan amanat rakyat.
Pertanyaannya sederhana: apakah negara boleh begitu mudah menghapus keberadaan sebuah gampong yang nyata dihuni rakyat, hanya karena kesalahan administrasi? Jika iya, maka hari ini Seuneubok Alue Tingkeum, besok mungkin desa lain yang bernasib sama.
Kebungkaman birokrasi sejak 2014 adalah ironi. Sementara pemerintah pusat gembar-gembor tentang dana desa dan pemberdayaan masyarakat, justru di Aceh Utara ada satu desa yang bahkan tidak diakui keberadaannya. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan pelanggaran hak rakyat atas pengakuan hukum dan pelayanan publik.
Bupati Aceh Utara mesti mengambil sikap tegas. Tidak cukup hanya meminta warga “melupakan masa lalu”. Melupakan berarti membiarkan kesalahan berulang, sementara rakyat menanggung kerugian besar, mulai dari hilangnya akses bantuan, program pembangunan, hingga hak administrasi kependudukan.
Jika pemerintah daerah tidak mampu memberi jaminan keadilan, lalu untuk apa rakyat mempercayai slogan “Aceh Utara Bangkit”? Kebangkitan sejati bukan diukur dari pidato atau baliho besar di jalanan, melainkan dari kemampuan pemerintah melindungi hak terkecil rakyatnya.
Seuneubok Alue Tingkeum adalah ujian. Apakah Pemkab Aceh Utara berpihak pada rakyat atau justru membiarkan rakyatnya tercerabut dari tanah kelahirannya sendiri?
Photo: Warga Gampong Seuneubok Alue Tingkeum menggelar aksi damai di halaman Kantor Bupati Aceh Utara, Kamis (14/08/2025).
Reporter: ZAS