Manado, Satupena.co.id. – Kota Manado kembali diguncang oleh isu besar terkait dugaan praktik tata niaga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis solar yang dijalankan secara sistematis oleh jaringan terorganisir. Di tengah antrean panjang para nelayan dan petani untuk memperoleh jatah solar, sejumlah oknum Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) justru diduga menjalin konspirasi dengan mafia BBM.30 Juli 2025.
Salah satu SPBU yang disorot adalah SPBU 74.953.21, berlokasi di Jl. Raya Tanahwangko, Tateli Satu, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa. SPBU ini diduga kuat menjadi pusat operasi mafia solar bersubsidi di wilayah Sulawesi Utara.
Berdasarkan data investigatif, satu tangki solar berkapasitas 8.000 liter bisa menghasilkan keuntungan kotor hingga Rp120 juta per bulan. Solar subsidi yang seharusnya dijual seharga Rp6.800 per liter, diduga dijual ke truk-truk mafia seharga Rp7.300, menciptakan selisih harga sebesar Rp500 per liter. Artinya, dalam satu hari, oknum bisa meraup keuntungan gelap hingga Rp4 juta, yang tidak masuk ke kas negara.
Setelah keluar dari SPBU, solar subsidi ini langsung dialirkan ke gudang transit di wilayah Tateli. Dari sana, solar dipindahkan ke gudang penampungan, dikemas ulang ke dalam tangki industri, dan dijual dengan harga tinggi ke korporasi atau dikirim ke luar daerah.
Ketua Umum LSM Gerakan Transparansi Independen (GTI), Fikri Alkatiri, menyebut praktik ini sebagai bagian dari jaringan mafia energi yang telah mengatur alur distribusi dari hulu ke hilir.
“Ini bukan sekadar pencurian BBM. Ini mafia energi. Barcode palsu, nomor kendaraan manipulatif, semua sudah jadi SOP (Standard Operating Procedure) mereka,” ujar Fikri.
Sumber dari pemantauan distribusi BBM menyebut bahwa kuota harian seolah-olah disalurkan ke petani dan nelayan, namun kenyataannya, solar langsung diarahkan ke gudang-gudang penimbunan.
Secara hukum, praktik penimbunan dan penyalahgunaan BBM bersubsidi ini melanggar sejumlah regulasi, antara lain:
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 53: hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp50 miliar.
- Perpres No. 191 Tahun 2014, Pasal 18: melarang penyimpanan BBM subsidi tanpa izin resmi.
Lebih jauh, fakta bahwa tiga SPBU di wilayah tersebut dimiliki oleh satu orang membuka kemungkinan penerapan Pasal 56 KUHP tentang pembantuan tindak pidana.
“Kalau SPBU tahu solar mereka disalurkan ke pihak ilegal dan tetap melakukannya, itu masuk kategori pembantuan. Apalagi kalau pemiliknya juga terlibat dalam perusahaan fiktif penerima solar,” tegas Fikri.
Ironisnya, di tengah skema ilegal yang merugikan negara dan memperkaya segelintir mafia, para nelayan di Kota Bitung dan sekitarnya justru kesulitan mendapatkan solar. Mereka harus antre berjam-jam di SPBU, bahkan tak jarang batal melaut karena kehabisan stok.
“Kami merasa dikhianati. Negara kasih subsidi, tapi yang nikmati justru orang lain. Kami antre, mereka timbun,” keluh Fikri, mewakili suara nelayan.
LSM GTI mendesak Kementerian ESDM, BPH Migas, serta aparat penegak hukum seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan Satgas Migas untuk menjadikan kasus ini sebagai prioritas nasional.
“Penyelidikan tidak cukup berhenti di level operator. Harus menyasar otak utama: pemodal, pemilik SPBU, dan perusahaan-perusahaan fiktif yang menerima solar subsidi,” tambahnya.
Menurut GTI, kasus ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga tragedi sosial dan pengkhianatan terhadap mandat subsidi negara. Ketika sistem barcode dan pengawasan digital dapat dimanipulasi, artinya sistem distribusi BBM telah bocor parah.
“Ini waktunya negara turun tangan, tidak hanya dengan penyelidikan, tetapi dengan reformasi total sistem distribusi BBM subsidi. Jika tidak, mafia akan terus menghisap hak rakyat,” pungkas Fikri.