Aceh Utara, Satupena.co.id.- Di tengah gencarnya tuntutan publik akan keterbukaan penggunaan dana desa, justru muncul ironi di Gampong Peurupok, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara. Seorang wartawan media online dilarang meliput rapat musyawarah pembangunan desa yang digelar pada Jumat (10/10/2025).
Larangan tersebut datang langsung dari Geuchik dan Camat setempat dengan alasan rapat bersifat internal. Padahal, rapat itu membahas penggunaan dana pembangunan yang bersumber dari uang publik. Sang wartawan, yang datang atas undangan warga, akhirnya diminta meninggalkan ruangan.
“Saya datang untuk meliput kegiatan rapat tersebut atas permintaan masyarakat desa. Tapi tiba-tiba disuruh keluar karena dianggap ini rapat internal,” ujar jurnalis itu kecewa. “Padahal yang dibahas adalah dana desa, yang seharusnya bisa diakses oleh publik.”
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada Minggu (12/10/2025), Geuchik Gampong Peurupok, Munzir, enggan memberi penjelasan lebih lanjut.
“Saya lagi ada acara antar rombongan pengantin (intat linto) ke Lhokseumawe, nanti kalau acara sudah selesai saya hubungi kembali bang,” jawabnya singkat.
Sementara itu, Camat Paya Bakong, Muhammad Noval Andrian, memberikan klarifikasi berbeda. Menurutnya, kegiatan tersebut merupakan rapat monitoring dan evaluasi internal antara pihak Muspika dengan perangkat desa.
“Itu bukan pengusiran. Saya hanya memohon izin kepada wartawan agar memberi kami waktu melaksanakan kegiatan internal. Setelah selesai, silakan wawancara atau liputan,” jelasnya.
Namun demikian, pelarangan wartawan untuk meliput kegiatan desa tetap menjadi catatan kelam bagi transparansi publik di tingkat akar rumput.
Rapat pembangunan desa merupakan bagian dari proses penggunaan dana publik yang wajib terbuka bagi masyarakat. Menghalangi liputan berarti menutup akses publik terhadap informasi, dan secara tidak langsung menutup ruang partisipasi rakyat dalam mengawasi pembangunan di desanya sendiri.
Desa sejatinya adalah garda terdepan pelayanan publik. Jika pintunya tertutup bagi media, bagaimana rakyat bisa menaruh kepercayaan pada pengelolaan dana yang berasal dari pajak dan keringat mereka?
Kasus ini menambah deretan panjang lemahnya pemahaman tentang keterbukaan informasi publik di tingkat desa.Masih banyak aparatur yang menganggap transparansi sebagai ancaman, bukan kewajiban. Padahal, media hadir bukan untuk mengganggu, melainkan untuk memastikan keadilan, keterbukaan, dan kepercayaan berjalan beriringan.
Ketika ruang publik mulai disempitkan, dan suara media dipinggirkan dari ruang-ruang musyawarah desa, maka yang hilang bukan sekadar berita — tetapi ruh demokrasi di tingkat paling bawah. Desa yang seharusnya menjadi rumah keterbukaan, justru terasa sunyi, tertutup, dan kehilangan makna kebersamaan. ( Y )