BeritaNasional

Akses Ditutup, Siswa Terlantar: Dr. Iswadi Desak Menteri Abdul Mu’ti Bela Anak Pribumi di SMAN 3 Tangsel

2
×

Akses Ditutup, Siswa Terlantar: Dr. Iswadi Desak Menteri Abdul Mu’ti Bela Anak Pribumi di SMAN 3 Tangsel

Sebarkan artikel ini

0:00

Tangerang Selatan –  Konflik pendidikan kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, SMAN 3 Kota Tangerang Selatan menjadi sorotan nasional setelah puluhan siswa lokal atau anak-anak pribumi terlantar akibat akses ke sekolah ditutup warga. Penutupan ini bukan sekadar aksi spontan, tapi bentuk akumulasi kekecewaan mendalam terhadap Sistem Penerimaan Murid Baru ( SPMB) yang dianggap tidak adil dan diskriminatif terhadap warga sekitar.

Di tengah meningkatnya ketegangan, tokoh nasional dan pemerhati pendidikan, Dr. Iswadi, M.P , menyuarakan keresahan masyarakat. Dalam pernyataannya yang tajam dan penuh keprihatinan, ia mendesak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk segera turun tangan dan mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan persoalan ini secara adil dan manusiawi.

Ini bukan semata soal akses jalan yang ditutup. Ini adalah simbol dari akses keadilan yang tertutup bagi anak-anak pribumi di tanah kelahirannya sendiri. Mereka hidup berdampingan dengan sekolah negeri, tapi ironisnya tidak bisa masuk ke dalamnya. Negara harus segera hadir!” tegas Dr. Iswadi.

Sistem zonasi, yang sejak awal dirancang untuk menjamin pemerataan akses pendidikan, justru menjadi senjata makan tuan. Alih-alih memberikan keadilan bagi siswa dari keluarga biasa di sekitar sekolah, sistem ini semakin menajamkan ketimpangan. Di SMAN 3 Tangsel, banyak warga mengaku bahwa anak-anak mereka yang tinggal hanya beberapa ratus meter dari sekolah justru tersingkir oleh peserta dari luar zona yang memiliki nilai akademis lebih tinggi. Celakanya, evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan zonasi nyaris tak terdengar.

Baca juga Artikel ini :   Perangi Narkoba: Kodim 0102/Pidie dan Jajarannya Pasang Baliho Kampanye Anti-Narkoba

Dr. Iswadi menilai implementasi zonasi kerap kali hanya sebatas formalitas administratif. Sekolah, menurutnya, terlalu kaku dalam menilai calon peserta didik hanya berdasarkan nilai, tanpa melihat konteks sosial, geografis, dan historis yang menyelimuti wilayah sekitar.

Negara mendirikan sekolah negeri bukan semata untuk mencetak siswa berprestasi, tapi untuk memastikan setiap anak bangsa punya akses terhadap pendidikan. Kalau sekolah negeri tidak bisa menerima anak dari lingkungannya sendiri, untuk siapa sekolah itu dibangun?” ujarnya dengan nada tajam.

Penutupan jalan ke SMAN 3 Tangsel oleh warga adalah bentuk frustasi yang memuncak. Bukan karena mereka ingin mengganggu proses belajar-mengajar, melainkan karena suara mereka tak pernah didengar dalam proses yang katanya demokratis. Aksi ini sekaligus menjadi refleksi dari sistem yang sudah terlalu lama abai terhadap akar rumput.
Warga bukan anti pendidikan, mereka justru menuntut keadilan pendidikan. Tapi ketika semua prosedur dilalui, semua aspirasi diabaikan, maka yang tersisa hanya aksi. Inilah jeritan mereka,” kata Dr. Iswadi.

Baca juga Artikel ini :   Resmi Berdiri, Pengurus Yayasan Pasak Reje Linge Gelar Doa Bersama di Buntul Linge

Dalam kapasitasnya sebagai akademisi sekaligus aktivis pendidikan, Dr. Iswadi mendesak Kementerian Pendidikan, khususnya Mendikdasmen, untuk mengambil langkah tegas. Ia meminta adanya peninjauan ulang sistem SPMB di SMAN 3 Tangsel dan menambahkan kuota afirmatif untuk siswa yang berdomisili paling dekat dengan sekolah.

Ia menekankan bahwa keadilan tidak selalu berarti perlakuan yang sama, tapi pemberian ruang bagi yang selama ini tertinggal untuk bisa maju bersama. Salah satu langkah nyata yang ia usulkan adalah penambahan rombongan belajar atau kelas baru agar siswa-siswa yang terlantar bisa segera ditampung tanpa mengganggu kuota yang sudah ada.

Pemerintah tidak bisa diam dan menyerahkan semua ke pemerintah daerah. Ini krisis keadilan. Presiden dan Menteri harus hadir. Kalau tidak, kita sedang menyaksikan kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar anak bangsa,” ujarnya lantang.

Dr. Iswadi mengingatkan bahwa pendidikan bukanlah barang mewah yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki privilese sosial, ekonomi, atau geografis. Ia menggarisbawahi bahwa pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang “Pasal 31 UUD 1945 jelas: setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Lalu mengapa masih ada anak-anak yang diusir secara halus dari gerbang sekolah negeri hanya karena tidak punya nilai tertinggi atau koneksi terkuat?” tanyanya retoris.

Baca juga Artikel ini :   Koperasi JPAK.PBS Bagikan 200 Paket Sembako dan Kartu BPJS Ketenagakerjaan kepada Anggota

Dr. Iswadi menyerukan dialog terbuka antara pihak sekolah, dinas pendidikan, dan warga. Namun ia menekankan bahwa dialog hanya akan berarti jika ada itikad baik dari semua pihak untuk mengutamakan hak anak-anak dan memperbaiki sistem yang pincang.
Jangan biarkan anak-anak ini kehilangan masa depannya karena kegagalan kita menyusun sistem yang adil. Pendidikan tidak boleh menjadi ladang kompetisi semata, tapi jembatan untuk semua menuju masa depan yang lebih baik,” pungkasnya.
Kisruh di SMAN 3 Tangsel bukan sekadar persoalan teknis zonasi. Ini adalah cermin ketimpangan sistemik dalam dunia pendidikan kita. Selama keadilan tidak menjadi napas utama dalam setiap kebijakan, selama anak-anak pribumi masih dipinggirkan di kampungnya sendiri, maka pendidikan akan terus menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan. Saatnya negara benar-benar hadir bukan hanya lewat aturan, tapi lewat tindakan nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *