Jakarta – Dalam Wawancara khusus dengan para awak media melalui telepon seluler Dr. Iswadi, M.Pd., seorang akademisi dan pengamat kebijakan pendidikan nasional, menyampaikan kritik tajam terhadap postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ia menyoroti apa yang ia sebut sebagai “akal-akalan konstitusi” dalam penentuan anggaran pendidikan, yang kerap kali dimanipulasi agar tampak memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945, dengan tegas menyatakan bahwa anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN dan APBD. Namun, menurut Dr. Iswadi, implementasi amanat konstitusi ini sering kali tidak murni. “Ada manipulasi dalam praktiknya. Pemerintah kerap memasukkan komponen-komponen anggaran yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan pendidikan,” tegasnya.
RAPBN 2026 yang dirilis pemerintah memang mencantumkan porsi anggaran pendidikan sebesar 20,2% dari total belanja negara. Angka ini, secara kasat mata, terlihat sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, menurut Dr. Iswadi, jika ditelisik lebih dalam, komponen anggaran yang masuk dalam kategori “pendidikan” mencakup item-item yang tidak seharusnya ada seperti subsidi bunga KUR, pelatihan vokasi di luar institusi pendidikan, bahkan program-progam kementerian/lembaga lain yang tidak bersentuhan langsung dengan proses pembelajaran formal.
“Ini bukan hanya masalah teknis anggaran, tapi soal integritas dalam menafsirkan konstitusi,” ujarnya. Ia menekankan bahwa pendidikan bukan hanya urusan belanja, tetapi juga menyangkut keberpihakan negara terhadap masa depan sumber daya manusia. “Jika dana pendidikan dicairkan untuk hal-hal di luar fungsi pendidikan yang sejati, maka kita sedang mempermainkan masa depan generasi bangsa,” lanjutnya.
Selain itu, Dr. Iswadi juga menyoroti ketimpangan dalam distribusi anggaran pendidikan antara pusat dan daerah. Dalam struktur APBN, sebagian besar anggaran pendidikan didelegasikan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), namun pelaksanaannya seringkali tidak diikuti dengan pengawasan dan evaluasi yang memadai. Akibatnya, banyak daerah yang tidak optimal dalam menggunakan dana pendidikan tersebut.
“Sekolah-sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru, fasilitas, dan akses teknologi. Bagaimana mungkin kita bicara transformasi pendidikan digital kalau infrastruktur dasarnya saja belum merata?” ungkapnya. Menurutnya, pemerintah pusat terlalu fokus pada proyek-proyek besar nasional tanpa memastikan kesiapan daerah sebagai ujung tombak pelayanan pendidikan.
Poin lain yang menjadi perhatian Dr. Iswadi adalah masih tingginya beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat, terutama di jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Meski pemerintah mengklaim telah memberikan berbagai bantuan seperti KIP Kuliah dan BOS, faktanya masih banyak keluarga yang harus merogoh kocek dalam untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.
“Banyak kampus negeri yang menjelma menjadi institusi semi komersial. UKT (Uang Kuliah Tunggal) terus naik, sementara akses terhadap beasiswa sangat terbatas dan selektif, kritiknya. Menurutnya, jika negara benar-benar serius dalam memenuhi amanat konstitusi, maka pendidikan harus sepenuhnya dijamin sebagai hak, bukan komoditas.
Sebagai solusi, Dr. Iswadi mengusulkan agar pemerintah memperbaiki mekanisme perhitungan anggaran pendidikan dengan mendasarkan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ia menyarankan agar dilakukan audit terbuka terhadap komponen-komponen anggaran pendidikan yang selama ini dianggap “dipaksakan” masuk.
Lebih lanjut, ia mendorong agar 20% anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan untuk kegiatan inti pendidikan pengembangan kurikulum, pelatihan guru, fasilitas belajar, dan kesejahteraan pendidik bukan terserap dalam program-program non-esensial.
Ia juga menekankan pentingnya memperkuat peran pemerintah daerah melalui otonomi pendidikan yang lebih luas namun tetap dalam pengawasan ketat. “Daerah harus diberi ruang untuk mengelola pendidikan sesuai kebutuhan lokal, tetapi tetap harus ada standar nasional agar tidak terjadi ketimpangan kualitas antarwilayah,” jelasnya.
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut memberikan refleksi mendalam Pendidikan Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita memiliki kerangka hukum yang jelas. Tapi di sisi lain, praktik anggarannya masih jauh dari semangat konstitusi. Jika kita terus bermain-main dengan angka, maka jangan heran bila kualitas pendidikan kita stagnan, bahkan menurun.”
Dengan kritik dan rekomendasi yang tajam namun konstruktif, Dr. Iswadi mengajak seluruh elemen bangsa pemerintah, akademisi, masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal anggaran pendidikan. Baginya, ini bukan semata soal kepatuhan pada hukum, tetapi bentuk komitmen moral terhadap masa depan bangsa.(**)