Aceh,Satupena.co.id. 9 April 2025 – Pers adalah tiang penyangga demokrasi. Dalam sistem kenegaraan yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, wartawan memegang mandat sosial untuk mengawal jalannya pemerintahan, menjadi corong suara rakyat, serta penyeimbang kekuasaan yang kerap tergelincir dalam jurang otoritarianisme. Namun, di balik kemuliaan peran tersebut, kini kita dihadapkan pada sebuah ironi yang menyayat: munculnya segelintir oknum yang menodai nilai luhur jurnalisme, menjadikan pena bukan sebagai cahaya, melainkan senjata untuk mengancam dan memeras.
Fenomena ini kian marak, terutama di wilayah pinggiran, di mana akses informasi terbatas dan literasi media masih rendah. Oknum-oknum yang mengklaim diri sebagai wartawan hadir dengan kartu identitas media yang belum tentu sah, menyisir kantor desa, sekolah, bahkan proyek-proyek pembangunan. Bukan untuk menyusun laporan berita, melainkan meramu skenario intimidasi. Mereka menciptakan narasi fiktif, memotret tanpa izin, dan mengangkat isu-isu sensasional tanpa konfirmasi yang berimbang—semata demi kepentingan pribadi, bukan untuk menyampaikan kebenaran kepada publik.
Satupena.co.id menilai tindakan ini sebagai bentuk baru dari premanisme intelektual—pemerasan yang dibalut kecerdasan, menyalahgunakan identitas wartawan untuk memuaskan kepentingan kotor yang melukai hati nurani jurnalisme.
Kami menegaskan: kebebasan pers bukanlah kebebasan untuk menekan. Kebebasan pers adalah ruang mulia untuk menyuarakan kebenaran, bukan alat untuk menjatuhkan individu dengan tuduhan tak berdasar. Wartawan sejati adalah penjaga nurani publik—bukan pemburu amplop. Mereka bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik, menjunjung akurasi, dan bermodal integritas moral, bukan atas siapa yang bisa membayar agar namanya tak muncul dalam pemberitaan.
Sayangnya, ulah segelintir oknum ini telah menciptakan ketakutan di kalangan aparatur desa, kepala sekolah, hingga pelaku UMKM. Mereka yang seharusnya terbuka terhadap publik kini memilih diam dan menutup diri, takut menjadi korban pemberitaan miring jika tak memenuhi permintaan “uang pelicin”. Ini bukan sekadar penyimpangan profesi—ini adalah bentuk kekerasan simbolik yang merusak tatanan kebebasan berekspresi itu sendiri.
Sebab sejatinya, pena yang tajam hanya pantas berada di tangan mereka yang jujur. Pena adalah cahaya keadilan, bukan topeng kebusukan. Jika pena dipakai untuk menebar ancaman, menekan, dan menyedot rasa takut dari masyarakat, maka ia bukan lagi alat jurnalistik—melainkan telah berubah menjadi belati yang menyayat kepercayaan publik terhadap dunia pers.
Satupena.co.id menyerukan kepada seluruh organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, serta aparat penegak hukum untuk bahu-membahu membersihkan dunia pers dari para pemalak berseragam media. Tidak boleh ada toleransi terhadap praktik pemerasan, intimidasi, dan pencemaran nama baik yang berlindung di balik nama kebebasan pers.
Kami juga mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dan kritis dalam mengenali siapa jurnalis sejati. Periksa legalitas medianya, afiliasi organisasinya, dan rekam jejak jurnalistiknya. Jangan mudah percaya hanya karena seseorang membawa kartu pers.
Di tengah dunia yang penuh disinformasi dan hoaks, kepercayaan publik terhadap media harus terus dirawat. Dan kepercayaan itu hanya akan tumbuh di tangan mereka yang menjaga marwah jurnalisme dengan kejujuran, keberanian, dan integritas—bukan oleh mereka yang menjadikan profesi mulia ini sebagai alat untuk mengemis, menekan, atau merusak.
Satupena.co.id akan terus berpihak pada kebenaran, dan berdiri tegak melawan setiap bentuk penyalahgunaan profesi wartawan yang mencederai hati nurani publik.
Penulis: Staf Redaksi Satupena.co.id