Aceh Timur 2 Februari 2025 – Sejumlah tenaga honorer di wilayah Koordinator Wilayah (Korwil) Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur, mengeluhkan hilangnya kesempatan mereka dalam penulisan ijazah siswa kelas 6. Tugas yang sebelumnya dipercayakan kepala sekolah kepada mereka kini diduga diambil alih sepenuhnya oleh Mahdi, pengawas sekolah di wilayah tersebut.
Sebelumnya, guru honorer diberi tanggung jawab menulis ijazah siswa dengan imbalan Rp 25 ribu per ijazah. Dengan rata-rata 40 hingga 50 siswa yang lulus di setiap sekolah binaan Mahdi, yang berjumlah sekitar 20 sekolah, pekerjaan ini cukup membantu menambah pendapatan mereka. Namun, sejak tugas itu dialihkan kepada pengawas sekolah, mereka kehilangan sumber tambahan penghasilan tersebut.
“Dulu kepala sekolah yang menunjuk kami untuk menulis ijazah. Tapi sekarang semuanya diambil alih oleh Pak Mahdi, pengawas sekolah. Kami yang tenaga bakti tidak lagi diberi kesempatan,” keluh salah satu tenaga honorer yang enggan disebutkan namanya.
Ironisnya, penulisan ijazah oleh pengawas ini diduga tidak dilakukan secara cuma-cuma. Sumber menyebutkan bahwa pihak sekolah harus membayar biaya Rp 25 ribu hingga Rp 35 ribu per ijazah kepada pengawas. Praktik ini semakin menambah polemik di kalangan tenaga pendidik dan administrasi sekolah.
Tindakan pengawas ini juga diduga melanggar Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang tata cara pengisian blangko ijazah pendidikan dasar dan menengah. Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa penulisan ijazah menjadi tanggung jawab kepala sekolah, dan dapat didelegasikan kepada guru yang ditunjuk, bukan kepada pengawas sekolah. Pengawas sekolah tidak memiliki kewenangan dalam administrasi sekolah, termasuk dalam urusan penulisan ijazah.
Menanggapi dugaan monopoli penulisan ijazah oleh pengawas sekolah di wilayah Korwil Simpang Ulim, Mahdi, yang disebut-sebut dalam kasus ini, membantah adanya keharusan bahwa hanya dirinya yang boleh menulis ijazah. Ia menegaskan bahwa keterlibatannya dalam penulisan ijazah hanya sebatas membantu kepala sekolah yang memintanya.
“Tidak ada keharusan dan aturan bahwa penulisan ijazah harus saya yang mengerjakan. Kalau kepala sekolah minta bantuan, saya bantu, tapi bukan atas nama pengawas,” ujar Mahdi melalui pesan WhatsApp.
“Kalau ada guru honorer yang menulis, biarkan saja mereka kerjakan. Mungkin itu bisa sedikit membantu mereka,” tambahnya.
Sementara itu, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Timur belum berhasil dilakukan konfirmasi oleh awak media ini. Tenaga honorer berharap agar disdikbud Aceh Timur segera turun tangan guna memastikan proses penulisan ijazah berjalan sesuai aturan tanpa merugikan tenaga honorer yang telah lama berkontribusi.
Reporter: ZAS